Rabu, 20 Agustus 2008

Dunia


Bersyukurlah kepada Allah karena Anda diizinkan-Nya beriman kepada-Nya. Peliharalah keimanan itu dengan bersungguh-sungguh dalam bertakwa kepada-Nya. Jangan remehkan anugerah keimanan itu. Betapa banyak orang yang menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah, tapi tanpa hidayah, sehingga apa yang ia saksikan tak mampu menjadikannya sebagai seorang yang beriman. Bertahanlah dalam keimanan itu hingga waktu Anda tiba menghadap kepada-Nya.

Allah tempat kembali seluruh makhluk berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (Q.S. Ali-Imran [3]: 102)

Bila Anda seorang yang bertakwa, tanamkanlah keyakinan yang kuat dalam diri bahwa keberadaan Anda tidaklah hadir dengan sendirinya. Kehendak Allah-lah yang telah menyebabkan Anda hadir dan menjalani hidup di dunia ini. Dalam pemeliharaan-Nya Anda saat ini dan kepada-Nya kelak Anda akan dikembalikan. Oleh karena itu, jadikanlah Dia sebagai tujuan dalam aktivitas yang Anda lakukan. Selalulah bersama dengan-Nya. Hendaklah saling membantu antara satu dengan lainnya atas dasar takwa kepada-Nya. Jalinlah silaturrahim dan pertahankan jalinan itu, dan hendaklah Anda menyadari bahwa Allah selalu menjaga dan mengawasi Anda.

Tuhan Yang Maha Mengawasi berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa [4]: 1)

Hamba Allah yang beriman dan bertakwa kepada-Nya tidak berkata kecuali dengan perkataan yang benar. Tak ada waktu yang tersisa baginya untuk mengucapkan kata-kata yang tak bermakna. Ia lebih memilih diam bila tak mampu berkata-kata yang mengandung manfaat. Ia sadar bahwa dengan cara seperti itulah Allah akan memperbaiki amal-amalnya dan mengampuni dosa-dosanya, dan sesungguhnya yang demikian itulah kemenangan besar di sisi Allah.

Simaklah firman Allah ini:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahdzab [33]: 70-71)

Bagaimana Allah Sang Penguasa dunia dan akhirat memberikan penjelasan kepada manusia tentang keduanya? Dengarkan penjelasan-Nya ini:

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan; dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur, dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. Al-Hadid [57]: 20)

Dalam ayat berikutnya, Allah menjelaskan:
“Berlomba-lombalah kamu untuk (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah; diberikan-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S. Al-Hadid [57]: 21)

Demikianlah Allah menggambarkan kepada kita hakikat dunia dan hakikat akhirat. Tentang dunia, Allah menegaskan bahwa kehidupan di dalamnya hanyalah permainan belaka. Sekali lagi, hanyalah permainan. Belum jelaskah kata-kata itu? Tatkala seseorang tidak berpegang teguh pada agama Allah, maka pagi, siang, sore dan malam hari yang dilaluinya dalam pandangan Allah adalah berupa permainan. Allah menganggapnya sebagai orang yang hanya bermain-main dalam hidupnya. Bahkan jika ia mati dalam keadaan tidak berpegang teguh pada agama, maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang mati dalam keadaan bermain-main.
Dunia juga penuh tipuan yang menyebabkan kebanyakan orang terlena olehnya. Ia begitu menggiurkan laksana perhiasan yang dipoles sedemikian rupa sehingga memancarkan cahaya yang menyilaukan mata, tak bisa dipungkiri mata setiap orang yang jauh dari bimbingan Allah menjadi tertuju kepadanya. Ia nampak sangat indah, suara-suara yang menggema di dalamnya adalah janji-janji keabadian, ketenaran, gelimang harta, senda gurau, pesta pora, serba kecukupan, glamour, yang seluruhnya itu bernafaskan nafsu.
Berbeda dengan itu, sesungguhnya kehidupan hakiki adalah di akhirat. Di sanalah keabadian itu berada. Akhirat adalah tempat kita memiliki apa yang menjadi milik kita, bukan memiliki apa yang sebenarnya hanyalah titipan. Di akhirat tiada kehancuran. Bila di sana kita memperoleh kebahagiaan atas izin Allah, maka kebahagiaan itu takkan pernah berakhir. Bila di sana kita memiliki sesuatu, maka yang kita miliki itu takkan pernah musnah. Akhirat berada di sisi Allah, maka segala yang ada di sisi-Nya takkan pernah lenyap.


Dzat Yang Maha Kekal itu berfirman:
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal…” (Q.S. An-Nahl [16]: 96)

Hamba-hamba Allah yang dalam hidupnya senantiasa berpedoman pada petunjuk-Nya tidak akan tertipu oleh gemerlap dunia. Mereka oleh Allah dibeningkan mata hatinya sehingga mampu melihat hakikat dunia dan hakikat akhirat. Mereka sangat berhati-hati dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Mereka selalu bersama Allah dan memohon bimbingan-Nya agar tidak terperosok ke dalam perangkap dunia. Kebersamaan mereka yang setiap saat terjalin bersama Allah menumbuhkan cinta dan kerinduan pada-Nya, sehingga mereka lebih memilih apa yang ada di sisi-Nya.
Saksikanlah bagaimana Kekasih Allah, Nabi Muhammad Saw. berlapar-lapar di dunia, sementara raja-raja dari Kekaisaran Persia dan Romawi mati kekenyangan. Mereka lebih memilih dunia dan memuaskan nafsunya hingga mati dalam dekapan dunia. Rasulullah yang mulia itu memilih tinggal di rumah yang terbuat dari tanah liat. Kondisi beliau jauh berbeda dengan gedung-gedung yang ditinggali oleh para raja itu, yang berlapiskan emas dan perak serta bertaburan intan permata. Lihat pula pakaian yang beliau kenakan. Hanyalah pakaian sederhana. Terbuat dari kain biasa yang tak pernah beliau ganti dalam jangka waktu yang cukup lama. Sementara orang-orang yang menghambakan dirinya pada dunia, mengenakan berbagai model pakaian yang terbuat dari bahan sutra tebal dan sutra tipis.
Suatu hari Umar bin Khaththab masuk ke dalam kamar Rasulullah untuk menemui beliau. Di sana Umar mendapati beliau sedang berbaring dan dalam keadaan memisahkan diri dari istri-istrinya. Tahukah Anda apa yang disaksikan Umar? Umar menyaksikan Rasulullah berbaring di atas anyaman tikar yang kasar beralaskan kain yang kasar pula. Kondisi kasar yang demikian itu sampai membekas pada lambung beliau. Di dinding kamar Umar melihat ada sesuatu dari bulir gandum yang menggantung. Menyaksikan kondisi hidup Kekasih Allah itu, Umar meneteskan air mata. Rasulullah kemudian menyapa, “Wahai Umar, adakah hal yang menimpamu sehingga engkau harus meneteskan air mata?” Umar menjawab, “Ya Rasulullah, bukankah kisra dan kaisar adalah musuh-musuh Allah, sedangkan engkau kekasih-Nya? Lalu, mengapa sedemikian sulit hidupmu?”

Dengarkan jawaban yang keluar dari lisan suci Rasulullah:
“Apakah engkau masih ragu hai Ibnul Khaththab? Tidakkah engkau merasa puas jika bagi mereka hanya dunia ini dan bagi kita akhirat?” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi)

Jawaban Rasulullah di atas sekaligus jawaban untuk kita yang barangkali juga pernah merasakan seperti yang dirasakan oleh Umar bin Khaththab. Sering kita melihat kemewahan, kedudukan, ketenaran menyertai orang-orang yang jauh dari ajaran Tuhan. Mereka hidup menuruti kehendak nafsu tapi berkecukupan. Di sisi lain, begitu banyak hamba-hamba Allah yang taat kepada-Nya, jujur dalam hidupnya, berhati-hati dalam pekerjaannya karena takut terambil sesuatu yang bukan haknya, menyisihkan sebagian waktu siang dan malamnya untuk mendekati Allah, namun hidupnya serba kekurangan bahkan nampak sangat menderita.
Rasulullah meyakinkan kita bahwa itulah yang menjadi hak mereka, dan hak itu mereka dapatkan di dunia ini. Hanya di sini. Mereka memperoleh kesenangan, makan enak apa pun yang mereka inginkan, tinggal di gedung-gedung mewah, kendaraan yang menyenangkan, harta yang berlimpah ruah, dan sebagainya. Sesungguhnya itulah bagian mereka yang disediakan Allah. Dan akhirat, dengan surga-surga, sungai-sungai dan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya hanyalah untuk orang-orang yang bertakwa, yakni orang-orang yang hidup ber-Tuhan-kan Allah dan menundukkan hawa nafsunya dalam menjalani hidup di dunia ini. Mereka adalah orang-orang yang selalu berada dalam ujian Allah. Hasil ujian itu akan mereka petik ketika berjumpa dengan Allah Yang Maha Kasih. Sekali lagi, kehidupan akhirat dan kebahagiaan yang ada di dalamnya hanyalah untuk hamba-hamba Allah yang bertakwa kepada-Nya.

Pada bagian lain dalam Al-Quran, Allah kembali menegaskan hal itu:
“Sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan kepada orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak untuk rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) untuk rumah-rumah mereka dan (begitu pula) yang mereka bertelekan atasnya, dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Az-Zukhruf [43]: 33-35)

Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui. Tiada apa pun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia menyimpan hikmah dibalik ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Agama ini tidaklah diberikan-Nya kecuali kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Sementara dunia diberikan-Nya kepada siapa pun dari makhluk-Nya. Yang bertakwa maupun yang ingkar kepada-Nya mendapatkan bagiannya di dunia ini. Yang mengakui keberadaan-Nya maupun yang tidak mengakui, yang munafik maupun yang fasik, seluruhnya memperoleh anugerah Allah di dunia ini.
Janganlah Anda tertipu oleh dunia. Dalam pandangan Allah dunia ini sangat kecil dan sangat tak bernilai. Itulah sebabnya Dia tidak menghendaki hal yang sangat kecil dan tak bernilai ini dipuja oleh hamba-hamba-Nya. Rasulullah pun tak rela bila sahabat-sahabatnya menerima dunia ini sebagai tujuan hidupnya.

Dengarlah apa yang disabdakan Rasulullah tentang dunia:
“Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya dunia ini di sisi Allah senilai dengan sayap nyamuk, niscaya Dia takkan memberi minum orang kafir walau hanya seteguk air.” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam Misykatul Anwar no. 5177)

Para sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang berjuang demi agama Allah. Apa pun mereka lakukan dan apa pun mereka korbankan demi tegaknya kalimat laa ilaaha illallaah. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang anggota tubuhnya terpotong di medan jihad. Ada pula di antara mereka yang kulitnya terkelupas, tersayat, menimbulkan perih yang amat sangat akibat pukulan cambuk. Ada yang darahnya ditumpahkan, mengalir, seiring dengan terpisahnya kepala dari badan karena dipenggal. Berbagai peristiwa yang mungkin saat ini sangat mengerikan menurut kita, dan kita pun tak pernah menyaksikan dan mengalaminya, tak pernah menyurutkan niat mereka untuk tetap berjuang bersama Rasulullah demi membela agama Islam. Ketika para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kalau kami menolong agama Allah bersama engkau, apakah yang kami dapatkan?” Rasulullah dengan tegas mengatakan, “Kalian akan memperoleh surga di sisi Allah.”
Rasulullah tak mengatakan apa pun imbalan di dunia ini. Yang beliau katakan adalah apa yang dijanjikan Allah, yakni surga. Surga di akhirat nanti ketika semua makhluk telah menghadap keharibaan Allah. Mendengar jawaban Rasulullah itu, seorang pemuda yang sangat pemberani, Abdullah bin Rawwahah, berdiri kemudian berkata, “Ya Rasulullah, tiada perniagaan yang lebih menguntungkan daripada perniagaan dengan Allah ini. Demi Allah, kami takkan pernah mundur dan takkan pernah meminta mundur.”
Dapatkah Anda merasakan betapa kuatnya niat, tekad dan keinginan mereka untuk memperoleh surga? Tidakkah Anda melihat betapa tak berharganya bagi mereka janji-janji keduniawian? Mereka seakan-akan telah melihat bentangan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang dijanjikan Allah untuk mereka. Tiada apa pun yang mampu menyurutkan mereka untuk memasuki surga yang ada di sisi Allah. Keuntungan yang pasti diperoleh dalam perniagaan itu tak mampu digoyah dari dalam hati mereka. Tetes-tetes darah yang mengalir dari tubuh mereka seakan menjadi butir-butir air surgawi yang membasahi mereka. Melayangnya ruh dari jasad laksana pesawat super cepat yang segera mengantarkan mereka ke dalam surga. Demi Allah, ini adalah transaksi yang pasti mendatangkan keuntungan bagi setiap orang yang ikut di dalamnya. Tak sedikit pun terselip kerugian di dalamnya.

Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Oleh karena itu, bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah [9]: 111)

Salah seorang sahabat Rasulullah yang hafal Al-Quran adalah Salim. Dalam kesehariannya Salim bekerja sebagai pelayan Abu Hudzaifah. Ketika pasukan kaum muslim berangkat dari Madinah menuju Yamamah untuk memerangi Musailamah Al-Kadzdzab, Salim ikut dalam rombongan tersebut. Tatkala peperangan mulai berkobar, Salim pergi mandi, lalu menaburkan kapur barus dan membalutkan kain kafan di tubuhnya. Selanjutnya ia mengambil pedang dan melepaskan dari sarungnya. Ia berlari masuk melibatkan diri dalam sengitnya peperangan hingga kemudian syahid di dalamnya. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Salim berkata pada dirinya sendiri, “Aku pasti akan menjadi penghafal Al-Quran yang paling buruk yang pernah ada bila hari ini aku lari dari medan peperangan.” Ucapannya itu laksana kekuatan luar biasa yang merasuki jiwanya hingga tak satu pun musuh yang ia lewati kecuali dibabatnya, sampai kemudian Allah berkehendak menjemputnya. Salim gugur sebagai syuhada dan pintu surga membuka diri menyambut kedatangannya.
Saya telah paparkan sebagian bukti yang tercatat dalam sejarah hidup Rasulullah dan para sahabatnya bagaimana mereka memandang dunia dan akhirat. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang jernih dalam menatap hakikat dunia dan akhirat. Belumkah Anda mampu menentukan pilihan yang sangat menguntungkan? Belumkah Anda mampu memilih jalan yang menjadikan Anda ahli surga atau ahli neraka? Mohonlah kepada Allah agar Dia memberikan kekuatan kepada kita untuk menempuh jalan seperti yang ditempuh oleh para ahli surga.
Dengarlah pengalaman Abu Hurairah ini. Ia sengaja menceritakannya kepada kita. “Aku pernah mengalami rasa lapar yang amat sangat. Aku tak bisa menggambarkannya. Hanya Allah-lah Yang Maha Tahu betapa parahnya laparku saat itu. Dalam kondisi yang tak tertahankan lagi, demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, aku jatuh pingsan di antara mimbar dan rumah Rasulullah. Salah seorang sahabat yang melihat keadaanku datang mendekat, dan ia mengira bahwa aku sedang kerasukan jin.”
“Pada suatu malam,” kata Abu Hurairah mengisahkan pengalamannya yang lain, “aku shalat di belakang Rasulullah. Saat itu aku sedang merasakan keadaan yang sangat lapar.” Dalam riwayat lain disebutkah bahwa rasa lapar yang dialaminya itu sampai pada tahap di mana ia tak mampu lagi mendengar dan mengetahui apa yang dibaca Rasulullah dalam shalat tersebut. “Setelah selesai shalat, aku keluar untuk menghadang orang-orang yang lewat dengan harapan ada salah seorang dari mereka yang mengajakku makan di rumahnya,” kata Abu Hurairah melanjutkan kisahnya.
Tapi, janganlah Anda bayangkan bahwa Abu Hurairah menghadang orang yang lewat laksana pengemis yang meminta belas kasih dari mereka. Tidak, Abu Hurairah tidak mengatakan “Berilah aku makan”, tidak pula berkata “Aku sangat lapar, kenyangkanlah perutku ini”. Abu Hurairah bukanlah seorang manusia yang mau memperlihatkan kesulitan yang dihadapinya kepada orang lain. Abu Hurairah juga bukan seorang yang memelas, merendahkan diri pada manusia lain, demi memenuhi nafsunya. Ia adalah hamba Allah yang menggantungkan hidupnya hanya kepada Allah Swt. Ketika ia menghadang orang-orang, yang ia lakukan adalah menanyakan kepada mereka makna sebagian dari ayat-ayat Al-Quran, siapa tahu mereka memahami kandungannya, lalu mengajaknya untuk makan ke rumah mereka. Salah seorang di antara yang dihadangnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, namun Abu Bakar tidak memahami maksudnya. Abu Bakar hanya menjawab pertanyaan yang diajukan Abu Hurairah, kemudian pergi. Begitu pula yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab.
“Ketika hampir tak ada lagi orang yang lewat, maka giliran Rasulullah keluar dari masjid. Demi Allah yang ditangan-Nya hidupku tergenggam, sebelum aku menyapa beliau, beliaulah terlebih dahulu yang menyapaku. Senyum tulus beliau mengarah kepadaku, lalu bersabda, ‘Ikutlah bersamaku!’” Kekasih Allah yang mulia itu memahami apa yang dirasakan oleh Abu Hurairah. Ya, Abu Hurairah memang tidak membutuhkan jawaban dan penjelasan dari ayat-ayat Al-Quran yang ditanyakannya. Ia hanya butuh sesuatu yang bisa digunakan sekedar untuk meringankan rasa laparnya. Kebanyakan orang tak memahami itu, tapi Rasulullah tahu apa yang sedang dibutuhkan oleh Abu Hurairah.
Abu Hurairah kembali berkisah, “Beliau kemudian memasukkanku ke rumahnya. Tahukah Anda apa yang kudapati di rumah beliau? Yang kudapati hanyalah sepoting roti, tanpa sebutir kurma dan tanpa ada sedikit pun anggur kering. Selain itu yang ada hanyalah semangkok laban (yoghurt). Tatkala aku melihat laban itu, hatiku berbisik, ‘Aku yakin beliau pasti akan memberikannya padaku, dan insya Allah rasa laparku akan hilang.’ Tiba-tiba Rasulullah memanggilku, ‘Hai Abu Hurairah!’ Aku kemudian menjawab, ‘Ya, ada apa Ya Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Segeralah temui para fakir miskin ahli shuffah yang ada di masjid, undang mereka semua untuk datang kemari.’”
Mendengar sabda Rasulullah itu, Abu Hurairah berbisik dalam hatinya, “Sungguh hanya Allah satu-satunya Dzat yang dimintai pertolongan. Rasanya aku jauh lebih utama untuk mendapatkan laban itu. Kalau para ahli shuffah itu datang semuanya, pastilah mereka takkan meninggalkan setetes laban-pun untukku. Tapi, perintah Rasulullah adalah lebih utama untuk kulaksanakan.”
Kekhawatiran Abu Hurairah memang bukan tanpa alasan. Bagaimana mungkin semangkok laban harus dibagi kepada sekitar tujuh puluh sampai delapan puluh ahli shuffah? Tentulah Abu Hurairah takkan bisa mendapatkan bagian dari laban itu, sementara ia adalah orang yang sedang menahan rasa lapar yang amat sangat, juga orang pertama yang diajak Rasulullah ke rumahnya. Ia merasa lebih berhak atas laban itu daripada para ahli shuffah. Namun, ketaatannya kepada Rasulullah telah mengalahkan rasa laparnya, sehingga ia melangkahkan kaki mengundang para ahli shuffah itu untuk datang ke rumah Rasulullah.
Setelah semuanya berkumpul, Rasulullah pun memberi mereka minum dari laban itu hingga tak ada seorang pun dari mereka yang tidak mencicipinya. Mereka semua merasa kenyang setelah mencicipi laban pemberian Rasulullah. “Aku hanya bisa memperhatikan mereka menikmati laban itu dengan sedikit menahan kesal di dada,” kata Abu Hurairah. Setelah selesai, satu persatu mereka meninggalkan rumah Rasulullah kembali ke masjid dengan raut wajah menunjukkan rasa puas.
“Hai Abu Hurairah!” terdengar suara Rasulullah memanggil.
“Labbaika ya Rasulullah,” jawabku.
“Beliau kemudian bersabda, ‘Ambillah wadah itu, minumlah!’ Aku kemudian minum hingga kurasakan laparku telah hilang. ‘Minumlah lagi,’ sabda Rasulullah kepadaku. Aku menjawab, ‘Demi Allah yang telah mengutusmu sebagai seorang nabi, tak ada lagi tempat baginya di perutku ini.’ Selanjutnya Rasulullah mengambil laban yang masih tersisa dalam wadah itu, dengan membaca bismillah beliau meminumnya.” (H.R. Bukhari, Ahmad, dan Tirmidzi)
Dapatkah Anda menemukan pemimpin saat ini yang memiliki hati semulia hati Rasulullah? Mampukah Anda menunjukkan saat ini seorang pemimpin yang kelelahan dan menahan rasa lapar tapi masih mendahulukan kepentingan orang banyak yang sama-sama kelelahan dan menahan rasa lapar? Mampukah Anda saat ini mencari seorang pemimpin yang rela minum dari minuman yang tersisa, setelah sebelumnya orang banyak meminumnya? Tiada teladan yang paling utama selain yang terdapat dalam diri Muhammad Rasulullah Saw.
Sesungguhnya Rasulullah adalah seorang hamba Allah yang dalam hidupnya mengharapkan imbalan pahala di akhirat kelak. Beliau tidak mengharapkan imbalan apa pun di dunia ini, karena beliau jernih memandang bahwa kehidupan dunia adalah fana. Tidak ada imbalan apa pun yang diperoleh di dunia ini yang mampu memuaskan hati. Sifat fana dunia menjadikan apa pun yang ada di dalamnya juga fana. Kepuasan yang kita rasakan di sini ketika tiba saatnya pun akan sirna. Hanya imbalan akhirat yang berkekalan dan mampu memberikan rasa puas yang tak berhingga.

Allah Swt. telah menjanjikan hal itu kepada hamba-hamba-Nya:
“Dan kelak Tuhanmu akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 5)

Suatu saat Umar bin Khaththab ra. mengajak pelayannya memeriksa sejumlah unta yang merupakan hasil zakat. Ketika melihat kenyataan bahwa unta-unta hasil zakat itu adalah dari jenis yang paling baik, pelayan itu berdecak kagum. Ia kemudian membaca firman Allah:

“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (Q.S. Yunus [10]: 58)

Melihat sikap pelayannya itu Umar ra. kemudian berkata, “Engkau dusta, hal yang sebenarnya bukanlah seperti apa yang engkau katakan. Tahukah engkau bahwa rahmat Allah itu sesungguhnya adalah istiqamah dalam menunaikan perintah Allah, dan senantiasa melakukan amal yang sesuai dengan petunjuk Allah hingga kau menghadap kepada-Nya.”

Allah memberi peringatan kepada kita:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (Q.S. At-Takatsur [102]: 1)

Tidakkah Anda menyaksikan begitu banyak manusia yang hidup dalam perlombaan bermegah-megahan? Padahal perlombaan semacam itu takkan pernah sampai pada titik akhir. Hanya kematianlah yang pasti akan menghentikannya. Ketika keranda telah diusung, tak berguna lagi perlombaan itu. Kelak semua manusia akan menyaksikan bahwa siapa-siapa yang diagungkan dan dipandang hina di dunia ini ketika masuk ke alam kubur tak ada satu pun perbedaan di antara mereka. Bila Anda menyeru mereka, yakinlah bahwa Anda takkan pernah mendengar jawaban mereka. Yang ada hanyalah kesunyian. Kekayaan bertumpuk, kedudukan tinggi, perabot rumah tangga yang mewah, penghormatan yang diberikan manusia; semuanya takkan mampu mengubah kesunyian itu. Apabila yang fana ini telah binasa, maka lenyaplah beritanya.

Dengarlah renungan dari Allah ini:
“Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri, sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya….” (Q.S. Al-An’am [6]: 94)

Ya, kita diciptakan Allah sendiri-sendiri dan akan menghadap kembali kepada-Nya sendiri-sendiri; tanpa pakaian, tanpa perhiasan, tanpa kendaraan, tanpa jabatan, tanpa anak-anak, tanpa suami atau istri, dan tanpa status sosial. Semua itu akan kita lepaskan.



Dia melanjutkan firman-Nya:
“Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mula-mulanya dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu….” (Q.S. Al-An’am [6]: 94)

Semua yang telah dititipkan Allah kepada kita akan kita tinggalkan di dunia ini. Semua yang kita kumpulkan selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, tidak kita butuhkan lagi. Kita akan menghadap Allah hanya dengan amal kita.
Betapa menyayat hati ketika kita mendengar rintihan Ali bin Abi Thalib ra. tatkala ia berdiri di atas kuburan. Sambil meneteskan air, Ali berkata, “Semoga Allah melimpahkan keselamatan atasmu, hai ahli kubur! Maukah kalian mendengar berita dari kami? Ketahuilah, istri-istri yang kalian tinggalkan, kini mereka telah menikah lagi. Sedangkan rumah-rumah yang dahulu kalian tempati, kini telah dibagi-bagi. Harta benda yang bertahun-tahun kalian kumpulkan kini telah menjadi hak ahli waris kalian. Inilah berita dari kami di dunia ini. Lalu, bagaimanakah berita dari kalian?”
Ali terdiam sejenak, suasana hening, tak ada apa pun yang terdengar. Dengan air mata yang masih menetes, ia selanjutnya berkata, “Hmm.., lihatlah tak seorang pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Ke mana suara mereka yang dulu nyaring terdengar? Demi Allah, seandainya mereka bisa berbicara, tentulah yang mereka ucapkan firman Allah:

“…Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa….” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 197)

Janganlah tertipu oleh dunia. Dunia ini laksana taman indah yang dipenuhi oleh bunga yang beraneka warna. Di dalamnya ada pohon-pohon yang rindang. Dedaunannya yang hijau menyejukkan pandangan mata. Di setiap dahan dan ranting pepohonan itu burung-burung kecil berkicauan, menambah riuhnya suasana. Tak ketinggalan kupu-kupu dengan aneka warna sayapnya yang lembut dan indah semakin menarik perhatian setiap orang untuk berlama-lama singgah di dalamnya.
Namun, tak lama kemudian suasana pun berubah. Pepohonan itu meranggas, layu, kemudian mati. Warna-warni bunga yang indah pun berubah. Aroma wangi yang biasanya tercium seiring hembusan angina, berubah menjadi bau busuk yang sangat menyengat. Burung-burung kecil dan kupu-kupu pun telah pergi. Mereka tak tahan lagi dengan keadaan taman yang sangat tidak menyenangkan.
Kini taman itu sudah tak dijamah lagi. Dibiarkan laksana tumpukan sampah yang menjijikkan. Ketika Anda tersadar, Anda akan berkata, “Benarkah ini adalah taman yang kemarin sempat kusinggahi? Inikah taman indah yang beberapa waktu lalu aku berharap agar bisa kekal di dalamnya? Mengapa sekarang jadi begini?”
Setelah Anda memperhatikannya dengan penuh kesadaran, Anda kembali akan bertanya-tanya, “Mana pepohonan yang hijau dan rindang itu? Mana warna-warni bunga yang mengeluarkan aroma wangi itu? Mana burung-burung kecil dan kupu-kupu cantik yang biasa bertengger dan membuat riuh suasana taman ini? Oh…, ternyata semuanya telah pergi. Pergi dan takkan pernah kembali.”
Inilah keadaan dunia yang sangat menyedihkan. Bagi hamba-hamba Allah yang taat kepada-Nya, ada pelajaran yang bisa mereka ambil darinya.
Allah Swt. berfirman:
“…dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras…,” (Q.S. Al-Hadid [57]: 20)

Yakni bagi orang-orang yang terlena dalam buaian dunia, sehingga ia melupakan Allah yang menciptakannya. Yakni bagi orang-orang yang menghambakan diri pada dunia, dan melupakan penghambaannya kepada Allah. Yakni bagi orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk meraih dunia, dan mengabaikan segala yang hukum yang telah ditetapkan Allah. Alangkah sedihnya hidup mereka kelak di akhirat, hanya bergelut dengan azab Allah yang sangat pedih.

Allah Swt. pun berfirman:
“…dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya….” (Q.S. Al-Hadid [57]: 20)

Yakni bagi orang-orang yang taat kepada Allah. Yakni bagi orang-orang yang teguh mempertahankan imannya. Yakni bagi orang-orang yang tak mau menghamba kepada dunia. Yakni bagi orang-orang yang sangat berhati-hati ketika berjalan di atas dunia. Yakni bagi hamba-hamba Allah yang selalu sadar bahwa segala yang dilakukannya di dunia ini akan diminta Allah pertanggungjawaban di akhirat kelak. Boleh jadi hidup mereka begitu sulit di dunia ini, tapi alangkah bahagianya mereka dengan anugerah ampunan dan keridhaan Allah kepada mereka. Semoga Allah menggabungkan kita bersama orang-orang yang memperoleh anugerah itu.
Bagi hamba-hamba Allah yang ketika hidup di dunia kukuh dengan keimanannya, maka tidak ada balasan yang disiapkan Allah untuk mereka kecuali surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Kenikmatan yang ada di dalamnya belum pernah terlintas di pikiran, belum pernah dilihat mata, dan belum pernah terucap di lisan. Sangat indah kehidupan di surga dan sangat bernilai apa yang ada di dalamnya. Hal terkecil yang ada di dalam surga jauh lebih berharga dari dunia seisinya.

Allah Swt. berfirman:
“Yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya….” (Q.S. Al-Hadid [57]: 21)

Semua itu disediakan Allah hanya untuk orang-orang yang beriman kepada-Nya dan beriman pula kepada para Rasul-Nya. Selain dari mereka tidak sedikit pun tempat disediakan Allah di dalam surga.
Sementara itu, surga tidak lain adalah pemberian Allah Swt. Dia-lah yang menyediakannya. Tak ada sesuatu pun selain Allah yang mampu menyediakan surga baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Dalam hal ini Allah Swt. telah memberi keterangan:

“Itulah karunia Allah.” (Q.S. Al-Hadid [57]: 21)

“… Diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 4)

Aku sudah mengetahuinya Ya Allah, bahwa karunia-Mu surga itu dan hanya Engkau berikan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki. Sungguh Engkaulah Pemilik seluruh karunia yang tiada batas. Oleh karena itu, aku memohon kepada-Mu agar Engkau memberikan sebagian dari karunia-Mu yang Maha Luas itu untukku, untuk orangtuaku, untuk anak keturunanku, untuk saudara-saudaraku kaum muslim. Jadikanlah kami termasuk golongan hamba-hamba-Mu pewaris surga yang luas itu. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Tidak ada komentar: